Kaldera Tengger dilihat dari puncak Pananjakan menjelang matahari terbit, tampak Gunung Semeru terbatuk...
Siapa yang tak kenal dengan Gunung Bromo ?. Hampir semua sudah kenal, atau paling tidak pernah mendengar namanya. Bicara mengenai Gunung Bromo pasti tak lepas dari nama kawasan dan penduduk aslinya, yaitu Tengger. Penduduk Tengger yang beragama hindu merupakan masih keturunan dari masyarakat Majapahit yang mengungsi dari tempat asalnya karena desakan kerajaan islam. Nama Tengger berasal dari gabungan nama sepasang suami istri, yaitu Roro Anteng dan Joko Seger. Roro Anteng adalah salah satu putri Prabu Brawijaya, penguasa Majapahit. Sedangkan Joko Seger adalah pemuda keturunan Brahmana. Di mana di masa lalu pasangan tersebut di diharuskan mengorbankan putera terakhirnya dengan cara membuangnya ke kawah gunung Bromo untuk menghindari terjadinya bencana.
Pengorbanan putera yang dilakukan oleh Roro Anteng dan Joko Seger itulah yang menjadi cikal bakal upacara YADNYA KASADA, yang sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat Tengger setiap tahunnya. Perayaan dilakukan pada tanggal 14 atau 15 pada bulan purnama, pada bulan ke-12 yang biasa disebut KASADA menurut kalender Tengger. Pada tahun ini puncak perayaan KASADA jatuh pada tanggal 5-6 September 2009.
Prosesi YADNYA KASADA berlangsung beberapa hari, yang diawali dengan mendhak tirta atau mengambil air suci untuk sembahyang. Puncak prosesinya ditandai dengan labuh sesaji ke kawah Gunung Bromo. Sesaji yang dilabuh atau biasa disebut ongkek berupa hasil bumi atau ternak. Labuh sesaji dimaksudkan untuk mengucapkan syukur kepada Sang Hyang Widhi Wasa sebagai penguasa alam.
Sejak dahulu, labuh sesaji merupakan peristiwa sakral yang dilakukan warga suku Tengger, baik secara kelompok maupun secara pribadi. Ribuan warga Tengger dari puluhan desa di Pegunungan Bromo berduyun-duyun menapaki lereng Gunung Bromo untuk melarung sesaji, yang sebelumnya didoakan oleh para dukun atau pemuka adat. Pada puncak sembahyangan Yadnya Kasada, semua dukun melakukan pujastuti atau membaca mantra dalam bahasa Jawa kuno secara serentak untuk mendoakan sesaji.
Pengorbanan putera yang dilakukan oleh Roro Anteng dan Joko Seger itulah yang menjadi cikal bakal upacara YADNYA KASADA, yang sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat Tengger setiap tahunnya. Perayaan dilakukan pada tanggal 14 atau 15 pada bulan purnama, pada bulan ke-12 yang biasa disebut KASADA menurut kalender Tengger. Pada tahun ini puncak perayaan KASADA jatuh pada tanggal 5-6 September 2009.
Prosesi YADNYA KASADA berlangsung beberapa hari, yang diawali dengan mendhak tirta atau mengambil air suci untuk sembahyang. Puncak prosesinya ditandai dengan labuh sesaji ke kawah Gunung Bromo. Sesaji yang dilabuh atau biasa disebut ongkek berupa hasil bumi atau ternak. Labuh sesaji dimaksudkan untuk mengucapkan syukur kepada Sang Hyang Widhi Wasa sebagai penguasa alam.
Sejak dahulu, labuh sesaji merupakan peristiwa sakral yang dilakukan warga suku Tengger, baik secara kelompok maupun secara pribadi. Ribuan warga Tengger dari puluhan desa di Pegunungan Bromo berduyun-duyun menapaki lereng Gunung Bromo untuk melarung sesaji, yang sebelumnya didoakan oleh para dukun atau pemuka adat. Pada puncak sembahyangan Yadnya Kasada, semua dukun melakukan pujastuti atau membaca mantra dalam bahasa Jawa kuno secara serentak untuk mendoakan sesaji.
Segera setelah didoakan, semua sesaji dibawa ke pinggir kawah Gunung Bromo untuk dilemparkan ke dalam kawah.
Sesaji itu bisa berupa beberapa ikat padi, hasil kebun seperti wortel, kol, terong, ubi, singkong, jeruk, apel dan berbagai macam buah dan sayuran. Bahkan tak ketinggalan kambing atau kerbau juga menjadi sesaji.
Namun sayang, sekarang kesakralan larung sesaji terganggu dengan banyaknya pendatang dari daerah luar Tengger yang hanya berniat untuk memdapatkan sesaji. Tak jarang mereka meminta secara langsung kepada warga agar sesaji tidak dilempar ke kawah Gunung Bromo. Puluhan pendatang tersebut bahkan mendirikan tenda-tenda di bawah bibir kawah. Mereka bahkan menggunakan senjata berupa galah dengan jaring diujungnya guna menangkap sesaji yang dilempar.
Namun sayang, sekarang kesakralan larung sesaji terganggu dengan banyaknya pendatang dari daerah luar Tengger yang hanya berniat untuk memdapatkan sesaji. Tak jarang mereka meminta secara langsung kepada warga agar sesaji tidak dilempar ke kawah Gunung Bromo. Puluhan pendatang tersebut bahkan mendirikan tenda-tenda di bawah bibir kawah. Mereka bahkan menggunakan senjata berupa galah dengan jaring diujungnya guna menangkap sesaji yang dilempar.
0 comments:
Post a Comment