Wednesday, 1 July 2009

KOTA TAMBORA..KOTA YANG TERTUTUP ABU



Kota yang terkubur letusan gunung berapi ( Gunung Tambora ) terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah mulai terkuak. Tahun 1815 di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Indonesia, Gunung Tambora meletus, memuntahkan batu 20 kali lebih banyak daripada letusan Gunung Vesuvius di Italia tahun 79 SM. Abu dan batu superpanas membakar atau mengubur segalanya, termasuk kerajaan kecil Tambora. Korban tewas sekitar 92.000 jiwa.

Awan abu setinggi 43 km yang tertiup angin meredupkan sinar matahari. Panen di seluruh dunia mengalami kegagalan. Sebagian Sumbawa juga tak berpenghuni selama puluhan tahun. Kota tambora terpendam dan terlupakan hingga penduduk lokal pada era tahun 1970-an menemukan artefak di wilayah yang dibuka oleh pembalak. Dengan menggunakan gelombang radar yang menembus lapisan tanah, ahli vulkanologi Haraldur Sigurdsson dari Universitas Rhode Island menemukan 3 rumah panggung di dalam lapisan abu setebal 3 m, tubuh manusia, serta benda yang menunjukkan kekayaan mencengangkan, juga pot keramik yang masih utuh.

PULAU SATONDA


Berbicara mengenai Gunung Tambora tidak akan lepas dari kisah pulau Satonda. Memang pulau tersebut terpisah jauh berpuluh-puluh kilometer arah barat laut Gunung Tambora. Namun akibat letusan Tambora yang maha dasyat turut merubah keadaan pulau klecil itu. Puluhan ribu tahun yang lalu sebuah gunung api di Semenanjung Sanggar pada bagian utara pulau Sumbawa, meletus. Gunung yang muncul dari kedalaman 1.000 meter di bawah permukaan laut ini, akhirnya membentuk pulau kecil dengan sebuah danau seluas 0,8 km2 di dalamnya. Uniknya air danau ini tidak tawar melainkan asin, bahkan lebih asin dari air laut.

Pada awalnya danau dengan kedalaman mencapai 68 meter ini, merupakan danau air tawar. Namun, letusan maha dahsyat Gunung Tambora tahun 1815 yang menyebabkan aliran gelombang tsunami hebat menerjang pulau ini dan membuat air danau menjadi asin. Jadi ketinggian gelombang tsunami kala itu melebihi perbukitn yang mengelilingi danau. Setelah terisolasi dalam jangka waktu yang lama, karena sama sekali tidak ada saluran-saluran penghubung dengan laut di dekatnya, menyebabkan kehidupan disini berkembang dengan unik. Misalnya jenis ikan penghuni danau yang juga mengandung kadar garam cukup tinggi, hanya berukuran kecil tidak dapat tumbuh menjadi besar. Lain halnya dengan alga merah, kondisi air seperti ini membuatnya berkembang dengan subur di permukaan karang-karang di danau. Para ilmuwan beranggapan bahwa danau di Satonda memiliki kemiripan dengan kondisi laut di zaman purba melalui penelitian terhadap fosil-fosil alga tersebut.

Sekeliling danau merupakan daerah perbukitan yang tertutup hutan dengan dinding-dinding terjal. Pepohonan beringin dengan sistem perakarannya yang khas banyak dijumpai di sini. Kesunyian di sini kadang-kadang terpecahkan oleh suara kicauan burung dan belibis yang bermain di danau sedangkan kawanan kalong dalam jumlah besar sering terlihat beterbangan. Begitu pula dengan kupu-kupu, keanekaragaman jenisnya dapat kita temukan di hutan. Perairan laut di sekitar Pulau Satonda juga masih memiliki terumbu karang yang bagus dan penuh dengan berbagai jenis ikan.


Satonda hanyalah sebuah pulau kecil seluas 4,8 km2 yang sangat rentan terhadap perubahan. Status pulau ini merupakan kawasan konservasi berupa Taman Wisata Alam. Tanpa adanya kegiatan pengelolaan yang memadai dikhawatirkan keunikan Satonda ini terancam hilang. Selain itu, pengembangan pariwisata yang tidak terkontrol seperti jumlah pengunjung yang berlebihan dan tanpa pengaturan atau pengembangan fasilitas yang tidak tepat dapat merusak lingkungan pulau, sehingga menjadi ancaman utama di masa depan.

Sumber : National Geographic Indonesia, voltras.net dan bacpackingindonesia.com

0 comments: