Thursday 10 December 2009

MUNDU..si kuning yang bulat dan cantik

0 comments

Mungkin sudah tidak asing lagi mendengar nama buah ini. Namun untuk melihatnya secara langsung mungkin tidak semua orang pernah. Bentuknya yang bulat, warnanya yang hijau muda saat masih mentah dan berubah menjadi kuning cerah saat sudah matang. Rasanya asam sedikit manis namun cukup segar. Tekstur daging buahnya lunak, kalau orang jawa menyebutnya "rodo mlenyek". Buah ini namanya Mundu. Nama ilmiahnya Granicia dulcis.



Sekilas buah Mundu ini seperti buah Kesemek. Perbedaaanya adalah : pertama, bentuk buah mundu rata-rata bulat sedikit gepeng seperti Manggis, sedang Kesemek ada yang gepeng dan ada yang bulat panjang. Kedua, warna kulit buah Mundu yang matang ialah kuning cerah mengkilat, sedang Kesemet warnanya kuning sedkit jingga dan tertutup serbuk seperti bedak. Ketiga, rasa buah Mundu asem manis, sedang Kesemek rasanya manis.

Memang sangat sulit untuk menemukan pohon buah ini. Belum tentu di satu tempat terdapat satu pohon. Kebetulan di sekitar rumah mbah saya terdapat satu pohon yang usianya sudah sangat tua. Konon pohon buah Mundu itu telah ada sejak mbah saya masih muda. Walau cuma ada satu dan tumbuhnya tepat di tepi kalen ( bahasa jawa untuk selokan atau saluran air ), pohon buah Mundu ini hampir setiap tahun selalu berbuah dan jumlahnya cukup banyak. Walau tumbuh di pekarangan orang ( namun masih saudaranya mbahku sendiri ), pemiliknya memperbolehkan siapa saja untuk mengambil. Sebab rasa buahnya yang asem membuat pemiliknya kurang suka untuk mengkonsumsinya. Kebanyakan dari mereka yang memetik karena memang doyan adalah anak-anak kecil.



Namun untuk memperoleh dan untuk mengkonsumsi buah Mundu tidaklah sangat mudah. Bentuk pohonnya lurus mengerucut dengan banyak ranting. Di mana ranting-ranting tersebut bersifat mudah patah ( istilah jawanya "pang pel" ). Jadi sangat jarang yang mau memanjat langsung untuk memetik buahnya. Kebanyakkan memilih menggunakan galah atau boso jowone "genter".
Selain cara memperolehnya sedikit susah, cara makannya juga tidak asal gigit atau "brakot" ( bahasa jawa ). Memang bagi mereka yang baru pertama kali mencoba memakannya, akan langsung saja main gigit layaknya makan apel. Maklum, bentuknya yang bikin gemes dan warnanya yang cerah akan membuat siapa saja menjadi tidak sabar untuk mengigitnya. Padahal, bila buah Mundu langsung dimakan, getah yang terdapat di dalam kulit buah Mundu sifatnya cukup keras untuk membuat kulit kita di sekitar mulut menjadi teriritasi atau "nedas" ( istilah jawanya ). Kulit kita akan memerah seperti mengalami luka bakar ringan. Rasanya sedikit perih dan gatal. Jadi cara memekan buah Mundu yang tepat ialah terlebih dahulu buah dikupas dan dicuci bersih dengan air. Baru dech bisa dimakan.

Khasiat dari memakan buah mundu ini adalah memperlancar buang air besar, karena memang daging buahnya cukup banyak mengandung serat. Selain itu kandungan vitamin C-nya juga cukup banyak. Jadi cukup baik buat yang membutuhkan asupan vitamin C. Dan satu yang pasti, dengan memakan buah Mundu ini akan membuat kita ceria dan punya banyak teman...Lho kok????..Lha yo bener..khan rasa buahnya yang kecut manis akan membuat kita yang memakannya cengar-cengir atau "pringas-pringis" seperti orang yang lagi senang..ha.ha (..maksa ya?? ). Selain itu mengingat cara untuk memperoleh buah Mundu ini sedikit susah, maka dibutuhkan kerjasama dari beberapa orang. Dari kerjasama tersebut secara otomatis akan menumbuhkan rasa pertemanan...he..he..he..( Asal saat membagi buahnya juga adil dan merata..setuju ?? ).

GENJER

1 comments

Daunnya bundar sebesar telapak tangan orang dewasa dan warnanya hijau segar, tampak tebal namun tekstur permukaannya lembut dengan bulu-bulu halus di permukaanya. Tumbuh di sawah dan tepian sungai dengan tanah berlumpur dan berair. Sekilas atau bila dilihat dari jauh ( namun jangan dari jarak 100 m lebih, gak kelihatan karena kejauhan..he..he ) nampak seperti enceng gondok.



Itulah tanaman yang bernama Genjer. Genjer dengan nama ilmiah Limnocharis flava biasanya banyak tumbuh di sawah setelah panen padi dan kondisi tanah belum di bajak kembali. Orang jawa menamai tanaman ini dengan nama Genjer, sedangkan orang sunda menamainya Gendot.



Sekilas genjer mirip dengan Enceng gondok ( Eichhornia crassipes ), namun terdapat perbedaan keduanya yang mencolok. Pertama, tangkai daun Genjer kecil lurus merata, sedangkan Enceng gondok tangkai daunnya menggelembung. Kedua, daun Genjer tidak bergelombang dan tekstur permukaan daunnya lembut dengan bulu-bulu halus dipermukaannya, sedangkan daun Enceng gondok bergelombang dan permukaannya licin. Selain itu, daun Genjer sangat kedap air seperti daun Talas. Ketiga, Genjer tumbuh di tanah lumpur, sedangkan Enceng gondok tumbuh dengan mengapung di permukaan air.

Di kampung halaman saya Klaten, Genjer sangatlah mudah ditemui. Namun di sawah, bukan di pasar-pasar. Memang karena mudah di dapat dan harganya sangatlah murah, orang-orang tidak mau menjualnya, karena cari saja ke sawah bisa pulang bawa genjer sebakul. Biasanya genjer dimasak tumis atau oseng-oseng. Rasanya cukup enak dan renyah seperti sawi hijau.

Tak hanya orang dewasa saja yang menyukai Genjer untuk dikonsumsi. Anak-anak di kampung saya pun sangat menyukai Genjer. Akan tetapi kesukaan anak-anak terhadap Genjer bukanlah untuk dimakan. Memang begitulah anak-anak pada umumnya, mereka kurang menyukai sayur. Sayur yang biasa kita makan saja mereka ogah, apalagi Genjer yang bagi mereka sedikit aneh. Anak-anak menyukai Genjer sebagai mainan. Kok bisa ? Pasti itu yang menjadi pertanyaan. Ternyata dengan memanfaatkan daun genjer dan tangkainya, anak-anak justru bisa bermain secara kreatif. Yaitu dengan menjadikan daun Genjer tadi menjadi perahu layar. Caranya sangat sederhana. Pertama, cari daun Genjer yang cukup lebar beserta tangkainya. Lalu lengkungkan tangkainya ke daun sampai menancap. Dan...taaaarrraaaa..jadi dah perhau layarnya. Tinggal dibawa ke sungai atau kolam. Dengan memanfaatkan tiupan angin anak-anak bisa berlomba adu cepat dengan kapal layar yang mereka ciptakan sendiri. Kreatif bukan ?

Tak cuma itu saja manfaat dari Genjer. Kebetulan Mbah putri saya di desa juga memanfaatkan daun Genjer untuk campuran ransum makanan bebek peliharaan. Daun Genjer dicacah kasar dan dicampur dengan dedak dan tinggal tambahakan air. Selain menghemat biaya pakan bebek, ternyata daun Genjer membuat bebek-bebek Mbah putri saya menjadi gemuk ginuk-ginuk..he..he.. Dan kotoran bebeknya pun tak begitu berbau, serta warnanya sedikit indah yaitu kehijau-hijauan..he..he..

Tuesday 8 December 2009

LERAK..si deterjen alami

1 comments

Di jaman kita hidup sekarang, sangatlah lebih enak bila dibandingkan mudanya kakek nenek kita. Apalagi di era yang serba modern dan instan sekarang ini, kita tidak perlu bersusah-susah. Mau masak nasi tinggal masukin beras ke rice cooker, mau nyuci tinggal masukin pakaian kotor plus deterjen ke mesin cuci.
Ngomong-ngomong tentang cuci-mencuci, siapa yang yang tak kenal deterjen dengan segudang merk yang beredar di negeri kita ini. " Cukup setakar bisa buat nyuci pakaian kotor seember..".. " Mencuci tangan tetap lembut...". " kekuatan sepuluh tangan.." dan sebagainya... Begitulah berbagai bunyi hasutan dari berbagai iklan deterjen di televisi. Namun dari sekian banyak produk deterjen yang beredar di pasaran, apakah ada yang benar-benar ramah lingkungan ?



Setelah mencuci baju, kulit tangan Anda terasa kering, panas, melepuh, retak-retak, gampang mengelupas hingga gatal? Bila itu yang Anda rasakan, maka deterjen Anda adalah bukan deterjen yang baik bagi kesehatan. Hati-hati, pemakaian terus-menerus menimbulkan gangguan pada fungsi-fungsi organ, seperti pada sistem pencernaan dan fungsi hati. Air yang terkontaminasi deterjen, dapat mengganggu fungsi-fungsi organ. Dalam waktu panjang, dapat merusak sistem pencernaan, dan fungsi hati. Hal itu disebabkan oleh susunan rantai kimia surfaktan, yang ada di dalam deterjen itu.

Ternyata selain tidak bersahabat dengan tubuh manusia, deterjen juga tidak ramah terhadap lingkungan. Di dalamnya terdapat zat-zat yang tidak bisa atau sulit terurai secara alami oleh tanah. Zat-zat kimia tersebut kemudian terakumulasi selama bertahun-tahun dan merembes ke dalam sumber air tanah. Zat pembersih seperti chlorine— yaitu zat kimia yang banyak dipakai sebagai pemutih dalam deterjen—membutuhkan waktu selama 150 tahun untuk terurai sempurna. Demikian juga ABS (alkyl benzene sulphonate), zat kimia yang digunakan sebagai penghasil busa pada berbagai deterjen. Saking kuatnya ikatan rantai molekul-molekul penyusunnya, ABS baru bisa terurai sempurna dalam waktu kurang lebih 500 tahun!!

Pada masa mudanya kakek nenek kita dahulu, mereka tidak mengenal yang namanya deterjen. Boro-boro mengenal, mungkin pabriknya saja belum ada. Untuk keperluan mencuci baju, mereka memanfaatkan busa yang diperoleh dari tumbuhan yang bernama "Lerak".

Lerak (terutama Sapindus rarak De Candole, dapat pula S. mukorossi) atau dikenal juga sebagai rerek atau lamuran adalah tumbuhan yang dikenal karena kegunaan bijinya yang dipakai sebagai deterjen tradisional.











Tumbuhan lerak berbentuk pohon dan rata-rata memiliki tinggi 10m walaupun bisa mencapai 42 meter dengan diameter 1m, karenanya pohon lerak besar dengan kualitas kayunya setara dengan kayu jati. Sehingga banyak ditebang karena memiliki nilai ekonomis. Bentuk daunnya bulat-telur berujung runcing, bertepi rata, bertangkai pendek dan berwarna hijau. Biji terbungkus kulit cukup keras bulat seperti kelereng, kalau sudah masak warnanya coklat kehitaman, permukaan buah licin dan mengkilat.




Biji lerak mengandung saponin, suatu alkaloid beracun, saponin inilah yang menghasilkan busa dan berfungsi sebagai bahan pencuci, dan dapat pula dimanfaatkan sebagai pembersih berbagai peralatan dapur, lantai, bahkan dapat dipakai untuk memandikan dan membersihkan binatang peliharaan. Kandungan racun biji lerak juga berpotensi sebagai insektisida. Cara mendapatkan busa buah lerak sangatlah gampang. Buah lerak cukup dimemarkan dengan cara dipukul. Lalu gosokkan buah lerak yang telah memar tadi pada kain atau baju yang akan dicuci. Dengan kain atau pakaian dibasahi terlebih dahulu. Kulit buah lerak dapat digunakan sebagai pembersih wajah untuk mengurangi jerawat dan kudis. Busa yang dihasilkan dari buah lerak tidaknya merusak lingkungan. Busa tersebut dengan sendirinya akan terurai.

Namun sekarang ini sangatlah sulit untuk menemukan pohon lerak. Biasanya para pengrajin batik tradisionallah yang masih menggunakan lerak untuk mencuci kain batik. Busa buah lerak tidak akan merusak warna kain batik, namun justru sebaliknya. Dengan di cuci dengan menggunakan busa buah lerak, warna kain batik akan bertahan lebih lama.

Tuesday 1 December 2009

POHON KELOR

4 comments

ENAK DAN SAKTI...


Pohon Kelor yang nama ilmiahnya Moringa oleivera termasuk jenis tumbuhan perdu yang dapat memiliki ketingginan batang 7 -11 meter. Di jawa, Kelor sering dimanfaatkan sebagai tanaman pagar karena berkhasiat untuk obat-obatan. Pohon Kelor tidak terlalu besar. Batang kayunya getas (mudah patah) dan cabangnya jarang tetapi mempunyai akar yang kuat. Daunnya berbentuk bulat telur dengan ukuran kecil-kecil bersusun majemuk dalam satu tangkai. Kelor dapat berkembang biak dengan baik pada daerah yang mempunyai ketinggian tanah 300-500 meter di atas permukaan laut. Bunganya berwarna putih kekuning kuningan dan tudung pelepah bunganya berwarna hijau. Bunga kelor keluar sepanjang tahun dengan aroma bau semerbak. Buah kelor berbentuk segi tiga memanjang yang disebut klentang (Jawa). Sedang getahnya yang telah berubah warna menjadi coklat disebut blendok (Jawa). Pengembangbiakannya dapat dengan cara stek.

Bagi masyarakat Indonesia, kelor memiliki banyak nama. Jadi masing-masing daerah memiliki sebutan masing-masing : Kelor (Indonesia, Jawa, Sunda, Bali, Lampung, Sumbawa), Kerol (Buru); Marangghi (Madura), Moltong (Flores), Kelo (Gorontalo); Keloro (Bugis), Kawano ( Sumba), Ongge (Bima); Hau fo (Timor);

Ini dia wujud dari daun kelor.

Buah kelor yang belum dikupas.

Buah kelor yang telah dikupas.



Bagi saya yang pernah tinggal di Sumbawa Besar, kelor sudah tidak asing lagi. Di sana daun kelor dipakai untuk campuran sayur bening, sedang buahnya yang panjang dipakai untuk campuran sayur asem.

Hal ini sangat berbeda 180 derajat dengan masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Jawa, daun kelor tidak lazim untuk dikonsumsi. Justru di Jawa daun kelor terdengar seram. Bagaimana tidak seram, di Jawa daun kelor dipakai salah satu syarat dalam memandikan jenasah. Di dalam air untuk memandikan jenasah diberi beberapa tangkai daun kelor.




Lain lagi dengan di pulau Lombok. Di pulau Lombok, selain dikonsumsi, pohon kelor termasuk tanaman yang sakti atau ampuh untuk memusnahkan ilmu hitam. Pernah ada seorang teman saya yang saat itu sedang berkunjung di suatu desa pelosok di pulau Lombok. Suatu sore ia mendengar warga desa berteriak-teriak mengejar sesosok mahkluk aneh dengan wujud setengah anjing setengah burung. Badan berbentuk seperti burung, namun berkepala anjing. Tidak berapa lama seorang warga dapat mendekati mahkluk tersebut dan langsung memukulnya dengan menggunakan sebatang ranting pohon kelor. Mahkluk tersebut langsung jatuh tersungkur dan seketika berubah kembali menjadi sosok wanita. Rupanya mahkluk tersebut adalah leak, yaitu mahkluk jelmaan dari manusia yang mempelajari ilmu hitam. Ternyata leak bisa dikalahkan dengan menggunakan sebatang tangkai kelor, namun syaratnya harus satu kali pukul. Konon bila kita memukulnya lebih dari satu kali, leak justru akan bertambah kuat. Tetapi hal ini tidak berlaku bagi leak Bali. Leak Bali dikenal lebih kuat daripada leak Lombok.

Di luar kemampuannya untuk menghilangkan ilmu hitam dan penggunaannya yang sedikit seram, ternyata pohon kelor juga menyimpan manfaat lain, yaitu sebagai obat tradisional. Kelor dapat digunakan sebagai : Diuretik, Stimulan, Ekspektoran, Analgesik. ( Ipteknet )