Sunday 21 February 2010

CILIWUNG..airmu bak susu coklat

0 comments

Meskipun orang bilang air sungai Ciliwung itu kotor, tapi banyak juga orang yang senang tinggal di sepanjang tepinya. Di sana bahkan anak-anak bisa berenang sesukannya tanpa harus keluar uang satu sen pun. Berenang dan bersenang-senang di kali Ciliwung, itulah hobi yang dimiliki oleh anak-anak yang tinggal di sepanjang tepi sungai yang membelah ibukota Jakarta. Setiap pagi dan sore anak-anak selalu berkumpul di tepi kali, lalu bersama-sama melompat dan….byuur. Yang mereka rasakan hanyalah kegembiraan, mereka tidak pernah memikirkan bahaya apa yang akan mereka derita kelak.

Bagi orang yang tak biasa, mungkin air sungai Ciliwung itu kotor dan menjijikan. Tapi tidak bagi orang-orang yang tinggal di tepinya. Mungkin karena sudah biasa kali ya ?? Setiap hari dari pagi hingga petang, dari anak-anak sampai orang tua memanfaatkan air sungai Ciliwung. Ibu-ibu biasa mencuci baju di atas getek dari bambu. Tak hanya mencuci baju saja, bahkan untuk keperluan memasak, mereka juga memakai air sungai untuk mencuci beras yang akan dimasak. Padahal selain airnya berwarna coklat dan tentu saja kotor, sungai Ciliwung juga dimanfaatkan sebagai MCK ( mandi, cuci, kakus ) bersama.

Bahkan bila pagi hari orang yang buang hajat besar seperti berlomba, mereka tinggal jongkok berlama-lama di toilet seadanya yang mereka buat sendiri. Jangan pikir toilet itu seperti toilet yang ada di rumah, mereka cukup membuatnya dari beberapa lembar papan kayu dan membentuknya menjadi kotak yang ketinggiaannya cukup sebatas dada bila untuk jongkok. Tanpa perlu membuat lubang angsa dan septiteng, jadi kotoran langsung “pluung”…dan tinggal kita ucapkan “dadaa…” maka kotoran langsung hilang dibawa pergi air sungai Ciliwung. Tak cuma itu, sungai Ciliwung juga kotor oleh berbagai jenis sampah. Dari mulai sampah rumah tangga, batang-batang kayu dan bambu, kantong dan botol plastic, bangkai binatang, bahkan sampai kursi dan kasur bekas yang tentu saja sudah rusak. Semua sampah itu tidak lain berasal dari masayarakat di sekitar sungai Ciliwung yang selalu membuang sampah sembarangan ke sungai Ciliwung.
Menurut orang-orang tua, waktu mereka masih muda dulu, air sungai Ciliwung bersih. Sayang, sekarang jadi seperti ini. Oleh karena itu, sebagian masyarakat sudah membuat sumur sendiri. Namun masih banyak juga yang tetap menggunakan air sungai Ciliwung untuk mandi dan mencuci.
Setiap musim hujan tiba, penduduk di tepi sungai Ciliwung juga harus waspada terhadap banjir. Setiap kali di daerah hulu hujan deras, maka sudah dapat dipastikan akan terjadi banjir. Hal ini disebabkan karena daerah hulu yaitu kawasan Puncak Bogor sudah kehilangan banyak fungsi sebagi penampung air hujan. Hutan yang dulunya hijau telah berganti menjadi ratusan villa mewah.

Di luar masalah yang dihadapi sungai Ciliwung dan orang-orang yang tinggal di tepiannya, ternyata sungai ini juga merupakan sumber rejeki bagi beberapa orang. Misalnya bekerja sebagai pengemudi getek yang menyebrangkan orang dari satu tepi ke tepi seberangnya. Ada juga yang suka mengumpulkan botol-botol plastik yang hanyut terbawa air sungai. Botol itu bisa dijual kembali dan menjadi uang.
Itulah berbagai permasalahan dan keuntungan yang diberikan oleh sungai Ciliwung bagi masyarakat Jakarta, khususnya bagi mereka yang tinggal di sepanjang tepinya.

KUPU-KUPU SAYAP KACA

0 comments

Bahasa Inggrisnya Glasswing butterfly. Sedangkan nama latinnya Greta oto, karena memang berasal dari keluarga kupu-kupu bersayap bening. Mata kita bisa melihat menembus sayapnya. Bila terkena sinar matahari, sayap itu akan berkilau merah, hijau, oranye dan kebiruan sperti gelembung sabun yang transparan.


Setiap kupu-kupu sebenarnya bersayap transparan. Namun sayap kupu-kupu dipenuhi sisik-sisik. Setiap kupu-kupu memiliki ketebalan sisik yang berbeda. Sisik-sisik inilah yang memberikan warna pada sayap kebanyakan kupu-kupu. Pada kupu-kupu sayap kaca, sisik pada sayapnya sedikit sekali atau bahkan tidak ada. Sayap transparan tersebut digunakan untuk kamuflase agar terhindar dari pemangsa. Akan tetapi, ternyata para pemangsa tidak menyukai rasa kupu-kupu sayap kaca. Bagi pemangsa tidak menyukai karena rasanya pahit. Rasa pahit itu berasal dari senyawa alkaloid yang terdapat di tubuh kupu-kupu sayap kaca. Mereka mendapatkannya dari tumbuhan yang mengandung alkaloid yang merupakan makanan mereka.

Kupu-kupu syap kaca dapat dijumpai di tempat asalnya yaitu Melsiko, Columbia, Panama, Ekuador, Kosta Rika, Venezuela, Peru dan Bolivia. Bagi para peneliti dan ahli hutan tropis, keberadaan kupu-kupu sayap kaca menjadi indicator dari habitat yang berkualitas tinggi. Artinya, kalau masih banyak terdapat kupu-kupu sayap kaca berarti kondisi hutan masih baik. Tetapi kalau sudah jarang terdapat kupu-kupu ,sayap kaca berarti keadaan hutan dalam bahaya.

Monday 8 February 2010

CABUK RAMBAK

0 comments

" cabuk rambak ???? opo kui ??"....mungkin itu kebingungan yang akan diutarakan oleh banyak orang. Mungkin bagi masyarakat kota Solo nama makanan tersebut tidaklah asing. Namun untuk mendapatkannya cukuplah repot di kota Solo yang semakin maju.

Awalnya saya mendengar nama "cabuk rambak" dari mbak saya yang kebetulan tinggal di pinggir kota Solo. Walau saya tinggal di Klaten yang mungkin dari segi jarak tidaklah terlalu jauh dari Solo, namun benar-benar saya baru mendengar nama "cabuk rambak" untuk yang pertama kali. Menurut mbak saya tidaklah mudah untuk bisa mencicipi makanan itu. Namun suatu ketika saat sedang berkeliling di Singosaren Plaza di daerah Coyudan, secara tidak sengaja saya berjumpa dengan seorang mbah yang berjualan cabuk rambak di lantai dasar plaza ( tepatnya di pojok selatan plaza depan pos polisi ). Tidak menyangka kalau ketemunya malah di mall, bukannya di pasar tradisional. Harganya murah banget cuma Rp.500 sepincuk (itu dulu di tahun 2003). Menurut mbah yang jualan, beliau sudah jualan sejak 15 tahun yang lalu. Memang dulu jualannya di pasar tradisional, berhubung tidak terlalu laku, akhirnya jualan di pelataran mall dan malah laris.
Bahan-bahan untuk membuat cabuk rambak sangatlah sederhana. Kita hanya butuh ketupat dan bumbu cabuk .

Bumbu cabuk ialah sambel yang terbuat dari kelapa yang diparut, kemiri, wijen, daun jeruk dan lombok lalu diulek sampai halus dan rata. Bumbu yang sudah halus kemudian diberi air secukupnya. Sekilas bumbu cabuk seperti bumbu pecel, namun teksturnya lebih halus dan warnanya lebih putih, dan tentu saja rasanya beda. Cabuk rambak sudah terbilang makanan langka dan hanya bisa dijumpai hanya daerah-daerah tertentu. Penyajian Cabuk rambakpun cukup unik, yaitu dengan pincuk (daun pisang yang dilipat) dan ketupat dipotong-potong kecil dan diatasnya dibubuhi cabuk. Sangat cocok jika makan Cabuk rambak dengan karak. Karak ialah krupuk yang terbuat dari beras, teksturnya kasar dan warnanya kecoklatan.
Rupanya di kota Solo, untuk bisa mencicipi cabuk rambak tidak cuma ada di Singosaren Plaza. Tempat lain yang terdapat penjual cabuk rambak diantarannya adalah di pasar Gede dan di pasar depan Pura Mangkunegaran.

Friday 5 February 2010

BENGAWAN SOLO..

0 comments

Bengawan Solo
Riwayatmu ini
Sedari dulu jadi...
Perhatian insani

Musim kemarau
Tak seberapa airmu
Dimusim hujan air..
Meluap sampai jauh

Mata airmu dari Solo
Terkurung gunung seribu
Air meluap sampai jauh
Dan akhirnya ke laut

Itu perahu
Riwayatnya dulu
Kaum pedagang selalu...
Naik itu perahu


Siapa yang tak kenal dengan cuplikan lagu di atas ? Bahkan lagu ini sudah sangat terkenal di manca negara. Ya..itulah lagu berjudul ''Bengawan Solo'' karya sang maestro Gesang. Beliau terinspirasi oleh keberadaan sungai Bengawan Solo yang berada tepat di sebelah timur kota Solo. Kota yang menjadi tempat kelahiran dan tempat tinggal beliau. Sungai yang memiliki panjang 540 km ini adalah sungai terpanjang di pulau Jawa. Mungkin sebelumnya sungai ini lebih panjang dari yang sekarang karena lebih banyak berkelok-kelok. Di akhir tahun 80-an dan awal 90-an sungai Bengawan Solo banyak yang di luruskan guna memperlancar aliran airnya dan untuk menghindari banjir. Bengawan Solo melewati 12 kabupaten atau kota di 2 propinsi, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bengawan Solo bagaikan pembuluh darah bagi kehidupan manusia Jawa yang berdenyut di sekitar alirannya. Ia adalah tumpuan harapan bagi mereka, tempat mereka berdoa dan melepas lelah, menghidupi kerajaan di pedalaman, menyokong kehidupan purba, hingga meniupkan peradaban masa kini.

Aliran sungai Bengawan Solo yang bermuara di Gresik Jawa Timur, merupakan aliran yang baru. Maksudnya, pada masa purba aliran sungai Bengawan Solo bukanlah ke arah pantai utara Jawa, melainkan mengarah ke pantai selatan Jawa. Fenomena geologi telah mengubah corong akhir aliran sungai yang bersumber dari pertemuan Kali Muning dan Kali Tenggar di wilayah Wonogiri. "Bendungan" purba membalikkan muara ke arah utara. Jutaan tahun lalu, Samudra Hindia di selatan menjadi akhir bengawan yang memiliki asal kata dari desa Sala. Cerita masa lalu masih tersisa, walaupun nyaris tak disadari oleh generasi penerus.




Bentang alam di salah satu pantai tepian Samudra Hindia di selatan Jogja dapat menuturkan kisah ini. Dua buah dinding batu kapur tegak yang membentengi sisi kanan kiri pantai telah membuat tempat yang dinamakan Pantai Sadeng. Pantai ini berbeda dengan pantai-pantai di pesisir pulau Jawa lainnya. Jarak antar dinding lebih dari 100 m dan ketinggian kedua dinding mencapai 30 m. Sejumlah citra satelit menunjukkan alur Bengawan Solo Purba yang makin meyakinkan bahwa sungai purba itu pernah ada.










Bukti lain yang juga ikut memperkuat adanya bekas alur Bengawan Solo Purba adalah adanya dataran rendah dengan dinding yang tinggi di kedua sisinya yang memanjang menyerupai parit. Parit-parit raksasa ini bisa dijumpai di sekitar kabupaten Wonogiri dan Gunung Kidul. Jejaknya dapat diikuti mulai dari sebelah timur Gunung Payung di sebelah barat daya Giriworo, memanjang ke selatan sejauh kurang lebih 30 km dan berakhir di teluk Sadeng. Kini teluk tersebut telah menjadi tempat pendaratan ikan.

Sumber : Harian Kompas " Ekspedisi Bengawan Solo "
National Geographic Indonesia edisi Juni 2009

Thursday 4 February 2010

JALAN RAYA POS ( GROOTE POSTWEG )

0 comments


Jalan Raya Pos ini terbentang dari Anyer ( Banten ) sampai ke Panarukan ( Jawa Timur ) sejauh kurang lebih 1000 km, tepatnya 1159 km. Dibangun oleh seorang Belanda yang menjabat sebagai Gubernur Hindia Belanda ke-36 bernama Herman Willem Daendels. Ia mendarat di Indonesia tepatnya di Anyer Lor pada tanggal 5 Januari 1808.



Tujuan Daendels membangun Jalan Raya Pos tak lain ialah untuk mempertahankan Jawa dari serbuan Inggris. Daendels tahu bahwa tanpa adanya akses jalan yang memadai, pasukannya tidak dapat bergerak cepat dan pulau Jawa sebesar itu tak bisa dipertahankan. Seluruh jalan yang dibangun bukan merupakan jalan yang baru, namun cukup melebarkan jalan yang telah ada dan membuka beberapa ruas jalan yang benar-benar baru. Dalam mewujudkan keinginannya, Daendels mengerahkan ribuan kaum pribumi dengan dibantu oleh para Bupati yang daerahnya akan dilalui Jalan Raya pos. Dalam buku Memoir of the Conquest of Java, menyebutkan setidaknya 12 ribu orang tewas.

Ruas Anyer - Batavia merupakan ruas pertama yang dilebarkan. jalan ini sekarang tergolong kelas I yang menghubungkan pesisir barat Banten dengan Jakarta. Dari Anyer, jalan masuk ke Cilegon Utara. Dari Cilegon, jalan itu membelok ke timur laut menuju alun-alun Istana Surosowan di Banten Lama. Daerah rawa-rawa menghalangi Jalan Pos ke timur, sehingga Belanda membelokkannya ke kota Serang di selatan, yang sekarang menjadi ibukota propinsi Banten. Dengan medan yang datar, jalan itu mencapai kota Tangerang. Daendels lalu masuk Jakarta melalui Grogol, dari jalan Daan Mogot ke arah Pangeran Tubagus Angke, sampai Harmoni ( sekarang jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk ).



Di Jakarta, Daendels merobohkan benteng Jan Pieterszoon Coen di Kota Intan, Jakarta Utara dan memindahkan semua markas militer ke Weltevreden ( sekarang Gambir ). Ia juga memilih Waterlooplein ( yang sekarang menjadi RSPAD Gatot Subroto ) sebagai kantornya.

Dari Jakarta, jalan pos diteruskan ke selatan menuju Bogor. Setelah melewati Depok dan Cibinong ( sekarang jalan raya Bogor ), jalan raya pos memasuki kota Bogor yang sekarang menjadi Jalan Raya Pajajaran dari kawasan Warung Jambu, Kampus IPB Baranangsiang sampai ke Tajur. Sampai di Bogor, Daendels menempati Istana Gubernur pendahulunya - sekarang Istana Bogor - dan memperluasnya.



Masalah mulai timbul ketika menanjak di Megamendung untuk mencapai Cianjur. Mereka harus memotong punggungan utara gunung Pangrango menembus perkebunan teh yang terkenal curam. Medan yang berbukit-bukit dan curah hujan yang tinggi menyebabkan banyak pekerja yang kelaparan, sakit dan akhirnya tewas. Menurut Nicolaus Engelhard ( salah satu mantan Gubernur Jawa ) menulis, 500 orang tewas di ruas Megamendung saja.



Dari Cianjur jalan mendaki lagi di Padalarang lalu turun ke Bandung. Namun karena jalan yang di bangun tidak melewati ibukota Bandung di Krapyak, maka Daendels memerintahkan penguasa Bandung saat itu untuk memindahkan ibukotanya ke utara sejauh 10 km, tepat di Jalan Raya Pos. Titik nol kilometer itu sekarang tepat di depan Gedung Bina Marga dan menjadi ruas Jalan Asia-Afrika. Dari situ Jalan Raya Pos menuju timur ke jalan Jendral Sudirman, Jendral Ahmad Yani, melewati Gedung Sate terus ke arah Cileunyi, Jatinangor, membelok ke utara menuju Sumedang.



Di Ciherang menjelang kota Sumedang, Daendels mendapat perlawanan dari Bupati Sumedang Pangeran Kusumadinata IX dikarenakan banyak penduduk yang tewas saat memapas cadas Ciherang. Memang tidak terjadi pertempuran di tempat itu. Namun saat bertemu dengan Daendels, Pangeran Kusumadinata berjabat tangan dengan menggunakan tangan kiri. Dari kejadian tersebut, Daendels tahu bahwa sang pangeran sedang marah. Kini Ciherang disebut Cadas Pangeran dan menjadi lintas utama Bandung - Cirebon.



Pada mulanya, Jalan Raya Pos tidak akan melewati kota Cirebon. Jalan Raya Pos berakhir di Karangsembung ( sekitar 10 km selatan kota Cirebon ) dan akan langsung diteruskan ke Jawa Tengah. Namun Bupati Cirebon meminta Daendels untuk menyambung jalan tersebut sampai ke kotanya. Dari Cirebon, Jalan Raya Pos langsung masuk jalur Pantura melewati kota Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang dan Kendal. Sebelum sampai di Kendal Jalan Raya Pos akan melewati rimbunnya hutan jati yang diberi nama Alas Roban.



Pantura telah lama menjadi tulang punggung perekonomian di pulau Jawa, di mana hilir mudik kendaraan pengangkut jutaan penumpang dan berbagai jenis barang antar kota. Di Indonesia, hampir selama 200 tahun tidak ada jalan yang sesibuk jlaur Pantura. Dari Cirebon hingga Semarang dan terus ke timur sampai Tuban, Jalan raya Pos melewati kota-kota yang sarat dengan sejarah. Di Semarang, Jalan Raya Pos membelah pusat kota di Lawang Sewu yang dulu menjadi kantor jawatan kereta api Belanda, terus melaju ke jalan Pemuda. Orang mengenalnya sebagai kota tua Semarang, yang dipisahkan dari kota baru oleh Sungai Semarang.



Setelah melewati kota Semarang, jlan ini terus menuju ke arah timur melewati kota Kudus, Demak, pati dan Rembang, membagi alun-alun kota ditengahnya. Memasuki Jawa Timur, Jalan Raya Pos melewati kota Tuban, gresik dan langsung masuk ke kota Surabaya melalui jembatan merah, lurus ke jalan Veteran dan terus ke Selatan.



Selepas Surabaya, Jalan Raya pos masuk ke Wonokromo, Sidoarjo dan Porong, tiga kota satelit yang sulit dibedakan lagi dengan Surabaya karena laju industrinya sangat pesat. Namun saat ini ketiga kota kecil itu resah, karena luapan lumpur Lapindo sejak 3,5 tahun yang lalu dan sampai saat ini bukannya berhenti justru semakin meluas.



Di Gempol tepatnya di ujung jalan tol, setelah membelok ke timur, Jalan raya Pos sampai di Pasuruan. Rel-rel kereta pengangkut tebu yang merupakan saksi kolonialisme masih bisa dilihat, terbengkalai siring surutnya jaman gula. rel-rel tersebut muncul dan hilang diantara rumah-rumah penduduk yang dulunya ladang tebu. Ruas jalan terus ke timur menuju Bangil, sebuah kota kecamatan kecil yang sarat denga pesantren. Sekarang kota ini sangatlah rame, banyak yang menyangka kota ini adalah kota Pasuruan. Dikarenakan jalanannya yang rindang oleh berbagai pepohonan dan banyak kantor-kantor pemerintah yang memiliki kantor cabang pembantu di kota ini. Selain itu banyaknya pertokoan dan pusat perbelanjaan juga turut meramaikan kota ini. Keluar dari Pasuruan ke arah Probolinggo, 10 km ke arah timur terdapat Pembangkit Listrik Tenaga Uap ( PLTU ) Paiton dengan empat cerobong asap yang besar dan tinggi seolah mencuat dari laut Jawa di bawah tebing yang kering dan tandus.



Di sebelah timur PLTU Paiton ini pulalah pada tahun 2003 yang lalu terjadi kecelakaan maut yang melibatkan sebuah truk kontainer dengan sebuah bus pariwisata dari Jogja yang menewaskan 55 orang penumpang bus. Memang jalan raya di sekitar PLTU Paiton medannya berbelok-belok dan naik turun cukup rawan untuk terjadi kecelakaan, terutama di malam hari.



Selepas dari Paiton, di kanan dan kiri jalan raya mulai menghijau kembali ketika memasuki Kraksaan, Besuki. Daerah ini memang subur meskipun pada musim kemarau, sehingga banyak penduduk sekitar yang bermatapencaharian sebagai petani tembakau. Selain itu di sepanjang jalan raya Kraksaan banyak terdapat lokasi pembibitan udang.
14 km arah tenggara dari Besuki, Jalan Raya Pos memasuki kawasan wisat Pasir Putih. Jalan raya di sini berbatasan langsung dengan laut. Pasir pantainya yang putih menyebabkab daerah ini cukup rame dengan toko cenderamata dan restauran. Banyak bus-bus AKAP dari Jawa ke Bali atau NTB dan sebaliknya yang beristirahat di restauran sepanjang kawasan ini. Kawasan wisata Pasir Putih memang tandus saat kemarau, menyisakan kaktus yang merayapi bukit dan daun-daun jati yang meranggas.
Setelah melewati hutan jati, saat jalan membelok di antara dua bukit dan pemandangan berganti menjadi hamparan sawah nan subur, maka kita akan memasuki kota Panarukan. Sesampai di kota Panarukan, membelok ke kiri ke sebuah jalan yang sempit beberapa kilometer sebelum kota Situbondo, berujung pada sebuah pelabuhan kecil, tempat Daendels berdiri menggenapkan ambisinya menyambung Jawa dalam setahun.



Kota Panarukan kini seperti catatan kaki sejarah dan hanya disinggahi kapal-kapal kayu kecil. Sungguh berbeda di masa dahulunya yang jaya, dimana kapal-kapal besar sarat akan tembakau keluar masuk dari pelabuhan ini.


Sumber : Harian Kompas " Napak Tilas Jalan Raya Pos " dan National Geographic Indonesia edisi November 2006